Pianis handal dengan reputasi internasional ini kerap tampil solo atau terlibat dalam konser simfoni orkestra di seluruh penjuru Eropa. Musiknya telah banyak ditulis sebagai bahan disertasi dan tesis doktoral di beberapa universitas di 3 benua. Pianis yang menetap di Spanyol ini menjadi satu-satunya orang Indonesia yang masuk dalam buku "The 2000 Outstanding Musicians of the 20th Century", yang berisikan riwayat hidup 2000 orang yang dianggap berdedikasi pada dunia musik.
Dari sekian banyak pemusik papan atas Indonesia yang ingin go international, beberapa dari antara mereka ada yang sudah mencapai impiannya tersebut, meski tanpa publikasi berlebihan. Salah satunya adalah seorang pianis klasik asal Indonesia yang kehebatannya sudah diakui dunia bernama Ananda Sukarlan.
Musisi kelahiran Jakarta, 10 Juni 1968 ini mengaku terjun ke dunia musik secara tak sengaja. Bungsu dari tujuh bersaudara yang akrab disapa Andy ini lahir dan tumbuh bukan di keluarga pemusik. Ayahnya Letkol Sukarlan adalah seorang tentara sedangkan ibunya Poppy Kumudastuti berprofesi sebagai dosen di IKIP. Keenam kakaknya pun tidak ada yang memilih seni musik sebagai jalan hidupnya. Bahkan di masa kanak-kanaknya, ia sempat bercita-cita menjadi petugas pemadam kebakaran.
Andy mulai tertarik pada musik khususnya piano setelah sering mendengarkan salah seorang kakaknya yang bernama Martani Widjajanti memainkan piano. Kakaknya itulah yang kemudian menjadi guru piano pertama Andy. Selain itu, Andy kecil juga suka mendengarkan musik klasik dari piringan hitam teman orangtuanya yang pulang ke Belanda.
Andy mulai tertarik pada musik khususnya piano setelah sering mendengarkan salah seorang kakaknya yang bernama Martani Widjajanti memainkan piano. Kakaknya itulah yang kemudian menjadi guru piano pertama Andy. Selain itu, Andy kecil juga suka mendengarkan musik klasik dari piringan hitam teman orangtuanya yang pulang ke Belanda.
Saat duduk di bangku SMP, keinginan Andy untuk menjadi pianis semakin kuat. Untuk itu, Andy menuntut ilmu di Yayasan Pendidikan Musik Indonesia, di bawah bimbingan Soetarno Soetikno dan Rudy Laban. Untuk menambah referensi, Andy juga gemar menonton konser yang kerap digelar di Erasmus Huis, Taman Ismail Marzuki, dan hotel-hotel berbintang.
Karena nilainya tak cukup untuk kenaikan kelas, ia drop out. Andy pun harus menghadapi ejekan dari teman-temannya. Namun Andy tidak terbawa keadaan. Kebulatan tekadnya untuk menjadi seorang pianis hebat sudah begitu menggebu sehingga mengalahkan semua aral dan rintangan. Semua ejekan dan hinaan disikapi bagai angin lalu. "Saya tidak pernah memikirkan saya berbakat atau tidak. Saya kira kalau kita ingin sesuatu jalani saja, pasti nanti Tuhan membantu," ucap Andy.
Doa dan tekad Andy mulai mendapat jawaban. Pada tahun 1986, setelah menyelesaikan pendidikannya di SMA Kolese Kanisius Jakarta, Andy mendapat beasiswa sekolah musik di Sekolah Musik Walter Hautzig di Harford, Connecticut, Amerika Serikat, untuk satu semester. Beasiswa itu dia peroleh dari Piano Petrof, sebuah lembaga yang memberikan beasiswa untuk anak-anak berbakat.
Sekembalinya ke Tanah Air karena beasiswa terputus, Andy menemui Fuad Hasan,
Menteri P & K saat itu yang tengah menjalin kerja sama dengan Belanda. Atas informasi dari Fuad bahwa Belanda memberikan beasiswa, Andy pun mengikuti tes dan lolos.
Di tengah kesulitan yang melanda, Andy tetap bersemangat mempelajari piano. Ia juga mengikuti berbagai ajang perlombaan seperti Kompetisi Musik Nasional Belanda dan berhasil meraih Eduard Elipse Award di tahun 1988. Lima tahun kemudian, ia membuktikan diri sebagai pianis jempolan di Nadia Boulanger Prize. Hadiah yang diperolehnya kala itu cukup untuk bertahan hidup selama beberapa bulan dan melunasi utang-utangnya. Kuliahnya di Fakultas Piano Koninklijk Conservatorium pun rampung. Andy berhasil meraih gelar master dengan predikat summa cum laude. Dengan gelar itu, Andy semakin percaya diri menatap masa depannya sebagai pianis.
Keberadaan di Belanda menjadi blessing, karena di Eropa negaranya banyak, sehingga karir saya bisa lebih terbuka," ujarnya seraya mengenang awal karirnya. Kuliah di luar negeri bukan tanpa cobaan. Pada 1993, hubungan Indonesia dengan Belanda terputus, akibatnya beasiswa pun ikut terputus. Karena kehabisan uang, selama berbulan-bulan Andy bahkan pernah makan nasi hanya dengan kecap, belum lagi utang yang kian hari kian menumpuk. Meski demikian, Andy tidak mau menyerah pada keadaan.
Di tengah kesulitan yang melanda, Andy tetap bersemangat mempelajari piano. Ia juga mengikuti berbagai ajang perlombaan seperti Kompetisi Musik Nasional Belanda dan berhasil meraih Eduard Elipse Award di tahun 1988. Lima tahun kemudian, ia membuktikan diri sebagai pianis jempolan di Nadia Boulanger Prize. Hadiah yang diperolehnya kala itu cukup untuk bertahan hidup selama beberapa bulan dan melunasi utang-utangnya. Kuliahnya di Fakultas Piano Koninklijk Conservatorium pun rampung. Andy berhasil meraih gelar master dengan predikat summa cum laude. Dengan gelar itu, Andy semakin percaya diri menatap masa depannya sebagai pianis.
Untuk genre musik yang diusungnya, kebanyakan orang sering menyebutnya sebagai pianis musik klasik namun ia menampiknya. Pria berkacamata ini lebih suka menyebut alirannya sebagai musik sastra. Sensibilitas pianis yang satu ini terhadap karya puisi memang terbilang tinggi. "Puisi itu seperti sudah bernada dan berbunyi menjadi musik," kata Andy. Tak jarang ia mendapat inspirasi dari banyak karya sastra yang dibacanya seperti karya dari beberapa sastrawan Spanyol, seperti Jorge Luis Borges atau Gabriel Garcia Marquest. Sementara untuk seniman sastra dalam negeri, Andy amat menggandrungi karya-karya Sapardi Djoko Damono, Ismail Marzuki, dan Eka Budianta.
Perlahan tapi pasti, kemampuan pianis muda ini semakin diperhitungkan. Undangan untuk tampil solo atau terlibat dalam konser simfoni orkestra di Eropa mulai menghampiri. Pengalaman konser di Eropa kemudian membawanya mengenal komponis kaliber dunia, salah satu diantaranya adalah musisi asal Inggris, Sir Michael Tippet. Tippet, bahkan menulis tentang interpretasi Ananda atas karyanya Sonata Piano No. 1 dalam CD The Pentatonic Connection (Erasmus WVH 139), "Saya cukup terkesima dengan kesegaran dan vitalis dari permainannya. Interpretasi Ananda Sukarlan memberikan karya tersebut kekuatan dan puisi yang mengangkatnya ke jenjang baru. Secara teknis permainannya tanpa cela dan kontrol suaranya serta keaneka-ragaman warna suaranya mengagumkan."
Ananda Sukarlan termasuk pianis yang aktif menggelar pertunjukan. Dalam setahun ia bisa mengadakan pertunjukan hingga 60 - 80 kali atau 5-7 kali per bulannya. Andy juga sering mendapat undangan untuk turut ambil bagian dalam orkes-orkes terkemuka dunia seperti di Rotterdam, Berlin, Madrid dan masih banyak lagi. Dengan musikalitasnya yang kian matang, ia pun mendapat kepercayaan untuk memberi resital piano tunggal di gedung-gedung konser paling bergengsi di Eropa seperti Concertgebouw Amsterdam, Philharmonie Berlin, Auditorio Nacional (Madrid), Rachmaninoff Hall (Moskow), serta Queen's Hall (Edinburg).
Lebih dari 70 komposisi musik untuk piano berupa concerto maupun solo telah ditulis khusus untuknya oleh berbagai komponis dunia untuk dimainkan Ananda antara lain Nancy Van der Vate dan Roderik de Man. Permainannya pun telah direkam dalam sejumlah CD oleh berbagai perusahaan rekaman Belanda, Austria, Italia, dan Spanyol. Rekamannya atas musik piano Theo Loevendie berhasil meraih urutan kedua dari Vienna Modern Masters Performers Recording Award (dikeluarkan dalam bentuk CD oleh VMM).
Musiknya telah banyak ditulis sebagai bahan disertasi dan tesis doktoral di beberapa universitas di 3 benua. Ia juga kerap didaulat sebagai pembicara untuk mengajar atau memberi ceramah, antara lain di Middlesex University (London), Edinburgh University, Griffith University (Queensland), Sydney Conservatory of Music, Maastricht Conservatory of Music, Monterrey Conservatory (Mexico) dan banyak konservatorium di Spanyol. Ia juga sering menuangkan pemikirannya dalam berbagai artikel mengenai musik di blognya serta beberapa majalah budaya di Spanyol dan Australia.
Namanya pun semakin dikenal sebagai musisi asal Indonesia yang karirnya mendunia. Sukses menjadi pianis bertaraf internasional tak membuat Andy lupa pada tanah kelahirannya. Sesekali ia menyempatkan diri untuk mudik dan menggelar konser. Pada Agustus 2000, Andy mengadakan sebuah konser recital piano eksklusif untuk Presiden RI Bapak Abdurrahman Wahid di Istana Merdeka.
Empat tahun kemudian, ia kembali menggelar konser Resital Piano di Tanah Air yang bertempat di Taman Ismail Marzuki (TIM). Dalam pertunjukannya waktu itu, Andy sukses membawakan empat komposisi lagu yakni Don`t Forget karya Gareth Faar (New Zealand), Little Passacaglia karya Peter Scultthurpe (Australia), Many Return to Bali karya Per Norgaard (Denmark), serta Ananda Mania karya Santiago Lanchares (Spanyol). Pianis yang pernah dijuluki 'A Brilliant Young Indonesian Pianist' ini juga menyajikan karya Chopin Nocturnes dan Sonatas karya A.A. Mozart, serta cuplikan karya Yaseed Djamin.
Pada akhir Juni 2010, Ananda Sukarlan berkolaborasi dengan koreografer dan penari Chendra Panatan menggelar konser bertajuk "5 Anniversary Years of Artistic Collaboration" di Gedung Kesenian Jakarta (24/6). Pentas itu dalam rangka menyambut HUT ibukota ke-483 dalam program "Jakarta Anniversary Festival VIII 2010" bertema "Jakarta dalam Potret & Gambar yang Bergerak, Suatu Dinamika Kota". Pagelaran ini menampilkan beberapa karya hasil kolaborasi keduanya dalam kurun waktu 5 tahun terakhir yang telah dipagelarkan di Inggris, Spanyol dan Indonesia. Mereka juga telah bersama mendirikan Yayasan Musik sastra Indonesia (musik-sastra.com) bersama Ibu Pia Alisjahbana dan Bapak Dedi S Panigoro yang bertujuan memasyarakatkan seni pertunjukan terutama kepada mereka yang secara finansial tidak mampu.
Di pagelaran yang mencampur seni tari, sastra, musik dan lighting itu, mereka membawakan koreografi dengan musik oleh komponis David del Puerto, Santiago Lanchares dan Ananda Sukarlan sendiri. Juga ditampilkan duo Ananda Sukarlan dengan pianis muda berbakat Elwin Hendrijanto, memainkan "West Side Story Symphonic Dances" karya komponis Amerika Leonard Bernstein. Duo piano ini juga menutup konser dengan karya besar Ananda Sukarlan, "The Humiliation of Drupadi" yang sukses besar diperdanakan di Jakarta New Year Concert 2009.
Karena nilainya tak cukup untuk kenaikan kelas, ia drop out. Andy pun harus menghadapi ejekan dari teman-temannya. Namun Andy tidak terbawa keadaan. Kebulatan tekadnya untuk menjadi seorang pianis hebat sudah begitu menggebu sehingga mengalahkan semua aral dan rintangan. Semua ejekan dan hinaan disikapi bagai angin lalu. "Saya tidak pernah memikirkan saya berbakat atau tidak. Saya kira kalau kita ingin sesuatu jalani saja, pasti nanti Tuhan membantu," ucap Andy.
Doa dan tekad Andy mulai mendapat jawaban. Pada tahun 1986, setelah menyelesaikan pendidikannya di SMA Kolese Kanisius Jakarta, Andy mendapat beasiswa sekolah musik di Sekolah Musik Walter Hautzig di Harford, Connecticut, Amerika Serikat, untuk satu semester. Beasiswa itu dia peroleh dari Piano Petrof, sebuah lembaga yang memberikan beasiswa untuk anak-anak berbakat.
Sekembalinya ke Tanah Air karena beasiswa terputus, Andy menemui Fuad Hasan,
Menteri P & K saat itu yang tengah menjalin kerja sama dengan Belanda. Atas informasi dari Fuad bahwa Belanda memberikan beasiswa, Andy pun mengikuti tes dan lolos.
Di tengah kesulitan yang melanda, Andy tetap bersemangat mempelajari piano. Ia juga mengikuti berbagai ajang perlombaan seperti Kompetisi Musik Nasional Belanda dan berhasil meraih Eduard Elipse Award di tahun 1988. Lima tahun kemudian, ia membuktikan diri sebagai pianis jempolan di Nadia Boulanger Prize. Hadiah yang diperolehnya kala itu cukup untuk bertahan hidup selama beberapa bulan dan melunasi utang-utangnya. Kuliahnya di Fakultas Piano Koninklijk Conservatorium pun rampung. Andy berhasil meraih gelar master dengan predikat summa cum laude. Dengan gelar itu, Andy semakin percaya diri menatap masa depannya sebagai pianis.
Keberadaan di Belanda menjadi blessing, karena di Eropa negaranya banyak, sehingga karir saya bisa lebih terbuka," ujarnya seraya mengenang awal karirnya. Kuliah di luar negeri bukan tanpa cobaan. Pada 1993, hubungan Indonesia dengan Belanda terputus, akibatnya beasiswa pun ikut terputus. Karena kehabisan uang, selama berbulan-bulan Andy bahkan pernah makan nasi hanya dengan kecap, belum lagi utang yang kian hari kian menumpuk. Meski demikian, Andy tidak mau menyerah pada keadaan.
Di tengah kesulitan yang melanda, Andy tetap bersemangat mempelajari piano. Ia juga mengikuti berbagai ajang perlombaan seperti Kompetisi Musik Nasional Belanda dan berhasil meraih Eduard Elipse Award di tahun 1988. Lima tahun kemudian, ia membuktikan diri sebagai pianis jempolan di Nadia Boulanger Prize. Hadiah yang diperolehnya kala itu cukup untuk bertahan hidup selama beberapa bulan dan melunasi utang-utangnya. Kuliahnya di Fakultas Piano Koninklijk Conservatorium pun rampung. Andy berhasil meraih gelar master dengan predikat summa cum laude. Dengan gelar itu, Andy semakin percaya diri menatap masa depannya sebagai pianis.
Untuk genre musik yang diusungnya, kebanyakan orang sering menyebutnya sebagai pianis musik klasik namun ia menampiknya. Pria berkacamata ini lebih suka menyebut alirannya sebagai musik sastra. Sensibilitas pianis yang satu ini terhadap karya puisi memang terbilang tinggi. "Puisi itu seperti sudah bernada dan berbunyi menjadi musik," kata Andy. Tak jarang ia mendapat inspirasi dari banyak karya sastra yang dibacanya seperti karya dari beberapa sastrawan Spanyol, seperti Jorge Luis Borges atau Gabriel Garcia Marquest. Sementara untuk seniman sastra dalam negeri, Andy amat menggandrungi karya-karya Sapardi Djoko Damono, Ismail Marzuki, dan Eka Budianta.
Perlahan tapi pasti, kemampuan pianis muda ini semakin diperhitungkan. Undangan untuk tampil solo atau terlibat dalam konser simfoni orkestra di Eropa mulai menghampiri. Pengalaman konser di Eropa kemudian membawanya mengenal komponis kaliber dunia, salah satu diantaranya adalah musisi asal Inggris, Sir Michael Tippet. Tippet, bahkan menulis tentang interpretasi Ananda atas karyanya Sonata Piano No. 1 dalam CD The Pentatonic Connection (Erasmus WVH 139), "Saya cukup terkesima dengan kesegaran dan vitalis dari permainannya. Interpretasi Ananda Sukarlan memberikan karya tersebut kekuatan dan puisi yang mengangkatnya ke jenjang baru. Secara teknis permainannya tanpa cela dan kontrol suaranya serta keaneka-ragaman warna suaranya mengagumkan."
Ananda Sukarlan termasuk pianis yang aktif menggelar pertunjukan. Dalam setahun ia bisa mengadakan pertunjukan hingga 60 - 80 kali atau 5-7 kali per bulannya. Andy juga sering mendapat undangan untuk turut ambil bagian dalam orkes-orkes terkemuka dunia seperti di Rotterdam, Berlin, Madrid dan masih banyak lagi. Dengan musikalitasnya yang kian matang, ia pun mendapat kepercayaan untuk memberi resital piano tunggal di gedung-gedung konser paling bergengsi di Eropa seperti Concertgebouw Amsterdam, Philharmonie Berlin, Auditorio Nacional (Madrid), Rachmaninoff Hall (Moskow), serta Queen's Hall (Edinburg).
Lebih dari 70 komposisi musik untuk piano berupa concerto maupun solo telah ditulis khusus untuknya oleh berbagai komponis dunia untuk dimainkan Ananda antara lain Nancy Van der Vate dan Roderik de Man. Permainannya pun telah direkam dalam sejumlah CD oleh berbagai perusahaan rekaman Belanda, Austria, Italia, dan Spanyol. Rekamannya atas musik piano Theo Loevendie berhasil meraih urutan kedua dari Vienna Modern Masters Performers Recording Award (dikeluarkan dalam bentuk CD oleh VMM).
Musiknya telah banyak ditulis sebagai bahan disertasi dan tesis doktoral di beberapa universitas di 3 benua. Ia juga kerap didaulat sebagai pembicara untuk mengajar atau memberi ceramah, antara lain di Middlesex University (London), Edinburgh University, Griffith University (Queensland), Sydney Conservatory of Music, Maastricht Conservatory of Music, Monterrey Conservatory (Mexico) dan banyak konservatorium di Spanyol. Ia juga sering menuangkan pemikirannya dalam berbagai artikel mengenai musik di blognya serta beberapa majalah budaya di Spanyol dan Australia.
Namanya pun semakin dikenal sebagai musisi asal Indonesia yang karirnya mendunia. Sukses menjadi pianis bertaraf internasional tak membuat Andy lupa pada tanah kelahirannya. Sesekali ia menyempatkan diri untuk mudik dan menggelar konser. Pada Agustus 2000, Andy mengadakan sebuah konser recital piano eksklusif untuk Presiden RI Bapak Abdurrahman Wahid di Istana Merdeka.
Empat tahun kemudian, ia kembali menggelar konser Resital Piano di Tanah Air yang bertempat di Taman Ismail Marzuki (TIM). Dalam pertunjukannya waktu itu, Andy sukses membawakan empat komposisi lagu yakni Don`t Forget karya Gareth Faar (New Zealand), Little Passacaglia karya Peter Scultthurpe (Australia), Many Return to Bali karya Per Norgaard (Denmark), serta Ananda Mania karya Santiago Lanchares (Spanyol). Pianis yang pernah dijuluki 'A Brilliant Young Indonesian Pianist' ini juga menyajikan karya Chopin Nocturnes dan Sonatas karya A.A. Mozart, serta cuplikan karya Yaseed Djamin.
Pada akhir Juni 2010, Ananda Sukarlan berkolaborasi dengan koreografer dan penari Chendra Panatan menggelar konser bertajuk "5 Anniversary Years of Artistic Collaboration" di Gedung Kesenian Jakarta (24/6). Pentas itu dalam rangka menyambut HUT ibukota ke-483 dalam program "Jakarta Anniversary Festival VIII 2010" bertema "Jakarta dalam Potret & Gambar yang Bergerak, Suatu Dinamika Kota". Pagelaran ini menampilkan beberapa karya hasil kolaborasi keduanya dalam kurun waktu 5 tahun terakhir yang telah dipagelarkan di Inggris, Spanyol dan Indonesia. Mereka juga telah bersama mendirikan Yayasan Musik sastra Indonesia (musik-sastra.com) bersama Ibu Pia Alisjahbana dan Bapak Dedi S Panigoro yang bertujuan memasyarakatkan seni pertunjukan terutama kepada mereka yang secara finansial tidak mampu.
Di pagelaran yang mencampur seni tari, sastra, musik dan lighting itu, mereka membawakan koreografi dengan musik oleh komponis David del Puerto, Santiago Lanchares dan Ananda Sukarlan sendiri. Juga ditampilkan duo Ananda Sukarlan dengan pianis muda berbakat Elwin Hendrijanto, memainkan "West Side Story Symphonic Dances" karya komponis Amerika Leonard Bernstein. Duo piano ini juga menutup konser dengan karya besar Ananda Sukarlan, "The Humiliation of Drupadi" yang sukses besar diperdanakan di Jakarta New Year Concert 2009.
Berbagai penghargaan bergengsi juga telah diraihnya. Misalnya dari Guinness Book of Record atas keberhasilannya memperdanakan 38 karya baru dalam Festival Musik Modern di Alicante-Spanyol pada September 1995. Terakhir, namanya masuk sebagai satu-satunya musisi Indonesia dalam The International Who's Who in Music dan 2000 Outstanding Musicians on the 20th Century. Dengan segudang prestasi itu, Andy semakin mengharumkan nama bangsa. Ia adalah musisi Tanah Air pertama yang membuka kembali hubungan kebudayaan Indonesia-Portugal dengan memenuhi undangan sebagai solois di Orkes Simfoni Nasional Portugal (Orquestra Sinfinica Nacional Portuguesa) pada akhir tahun 2000.
Masih di tahun yang sama, tepatnya pada Oktober 2000, Ratu Sofia dari Spanyol mengundangnya untuk konser pada acara malam gala Queen Sofia Prize di Madrid, Spanyol, yang disiarkan di televisi semua negara Eropa Barat. Dua tahun berselang, Andy terikat dengan berbagai kontrak konser di antaranya kontrak dengan komponis besar Perancis Pierre Boulez untuk mengadakan tur konser ke-11 kota di antaranya Helsinkski, Oslo, Santiago, Paris untuk mempergelarkan karya untuk piano, ensemble dan komputer.
Pada tahun 1998, pengagum tokoh musik Lenock Berstain dan Stravinsky ini pindah ke Spanyol, tinggal di kawasan pegunungan Spanyol utara, bersama istrinya yang berkebangsaan Spanyol, Raquel Gomez. Raquel adalah mantan asistennya ketika konser di Spanyol. Pasangan ini dikaruniai seorang putri bernama Alicia Pirena Sukarlan. Keluarga musisi ini menikmati hidup di rumah berhalaman luas yang dirawat sendiri. Di rumah yang sudah lama diimpikannya itu, Andy leluasa melakukan hobinya berkebun dan berenang.
Masih di tahun yang sama, tepatnya pada Oktober 2000, Ratu Sofia dari Spanyol mengundangnya untuk konser pada acara malam gala Queen Sofia Prize di Madrid, Spanyol, yang disiarkan di televisi semua negara Eropa Barat. Dua tahun berselang, Andy terikat dengan berbagai kontrak konser di antaranya kontrak dengan komponis besar Perancis Pierre Boulez untuk mengadakan tur konser ke-11 kota di antaranya Helsinkski, Oslo, Santiago, Paris untuk mempergelarkan karya untuk piano, ensemble dan komputer.
Pada tahun 1998, pengagum tokoh musik Lenock Berstain dan Stravinsky ini pindah ke Spanyol, tinggal di kawasan pegunungan Spanyol utara, bersama istrinya yang berkebangsaan Spanyol, Raquel Gomez. Raquel adalah mantan asistennya ketika konser di Spanyol. Pasangan ini dikaruniai seorang putri bernama Alicia Pirena Sukarlan. Keluarga musisi ini menikmati hidup di rumah berhalaman luas yang dirawat sendiri. Di rumah yang sudah lama diimpikannya itu, Andy leluasa melakukan hobinya berkebun dan berenang.
Sejak itu, praktis Andy lebih memilih berkarir di luar negeri terutama Eropa. Alasannya, kalau di luar negeri, ia merasa lebih berguna bagi orang Indonesia karena ia memainkan karya komponis Indonesia di sana. Selain itu, masyarakat luar negeri lebih dapat mengapresiasi kerja keras para seniman musik berprestasi dengan memberikan penghargaan materi yang setimpal.
Selain itu, Andy menyimpan keprihatinan mendalam terhadap kondisi musik di Tanah Air yang menurutnya sudah dalam fase yang amat parah. Terutama industri musik pop karena dianggap tidak berkembang dan miskin pemusik yang idealis. Andy membandingkan industri musik pop saat ini yang jauh berbeda dengan tahun 1970-an. Di masa itu, menurutnya lagu-lagu pop dibuat dengan komposisi dan harmonisasi yang baik.
Selain itu, Andy menyimpan keprihatinan mendalam terhadap kondisi musik di Tanah Air yang menurutnya sudah dalam fase yang amat parah. Terutama industri musik pop karena dianggap tidak berkembang dan miskin pemusik yang idealis. Andy membandingkan industri musik pop saat ini yang jauh berbeda dengan tahun 1970-an. Di masa itu, menurutnya lagu-lagu pop dibuat dengan komposisi dan harmonisasi yang baik.
Minat masyarakat Indonesia terhadap musik klasik juga ia nilai masih kurang, bahkan bisa dikatakan cukup tertinggal. Kurikulum yang ada di sekolah, utamanya musik, untuk mengenalkan musik klasik juga masih minim. Untuk mengatasi permasalah pelik seperti itu, perhatian dari pemerintah mutlak diperlukan. eti | muli, mlp
Sumber: www.tokohindonesia.com
Copyright © tokohindonesia.com
Sumber: www.tokohindonesia.com
Copyright © tokohindonesia.com